Mengharapkan Keturunan Shalih Sebagai Sunnah Para Rasul
DR. KH. ABUN BUNYAMIN, MA (Pimpinan Ponpes al-Muhajirin Purwakata)
|
HIKMAH -
Di sanalah Zakariya berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.”
Ayat ini merupakan lanjutan penjelasan sejarah yang terjadi pada Nabi Zakariya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pemeliharaan Maryam. Setelah Nabi Zakariya melihat keshalihan dan ma’rifat Maryam terhadap Allah, Nabi Zakariya berharap mempunyai seorang anak yang shalih sebagai anugerah dan keutamaan dari Allah.
Q.S. Ali Imran : 38
هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ قَالَ رَبِّ هَبْ
لِيْ مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيْعُ الدُّعَآءِ
Di sanalah Zakariya berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.”
Ayat ini merupakan lanjutan penjelasan sejarah yang terjadi pada Nabi Zakariya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pemeliharaan Maryam. Setelah Nabi Zakariya melihat keshalihan dan ma’rifat Maryam terhadap Allah, Nabi Zakariya berharap mempunyai seorang anak yang shalih sebagai anugerah dan keutamaan dari Allah.
Keinginan ini menurut pendapat
Ibn Jarir dari Ibnu Abbas seperti disebutkan dalam tafsir al-Durrul Mantsur
fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur terjadi saat Nabi Zakariya melihat adanya
buah-buahan yang bukan pada musimnya di hadapan Maryam. Ia berpikir bahwa Dzat
yang memberikan Maryam semua ini pasti juga mampu menyembuhkan istriku dan
menganugerahkan untukku dari rahimnya seorang anak. Maka berdoalah Nabi
Zakariya kepada Tuhannya pada 3 hari terakhir dari bulan Muharram. Ia bangkit
dan mandi, kemudian dengan khusyu berdoa kepada Allah, seraya berkata: “Wahai
Dzat yang memberi Maryam rizqi buah-buahan musim panas di musim dingin dan
buah-buahan musim dingin di musim panas, anugerahkanlah untukku dari sisi-Mu
keturunan yang baik.”
Dalam kitab Ruh al-Ma’ani
disebutkan bahwa keinginan Nabi Zakariya untuk memiliki anak meskipun beliau
sudah tua dan istrinya mandul disebabkan beberapa alasan yang ia dapatkan
melalui Maryam.
Pertama, anak dapat dimisalkan dengan buah-buahan dan kemandulan dapat
dimisalkan dengan musim. Bila Allah saja menganugerahi Maryam buah-buahan bukan
pada musimnya, pasti Dia pun mampu menganugerahkan anak dari seorang ibu yang
mandul.
Kedua, ketika Nabi Zakariya melihat kejadian diterimanya seorang perempuan
untuk menjalankan tanggung jawab seorang laki-laki dalam mengurus Bait
al-Maqdis, maka ia pun beranggapan mungkin juga terjadi seorang yang tua
menjadi seperti pemuda dan yang mandul menjadi subur.
Ketiga, saat Maryam yang masih kecil diterima sebagai muharrir daripada orang
lain yang sudah dewasa, maka hal ini pun mengingatkan Nabi Zakariya kemungkinan
terjadi sebaliknya.
Keempat, tatkala Nabi Zakariya melihat
Maryam berbicara di luar kebiasaan sebayanya, maka ia pun berpikir mungkin pula
istrinya melahirkan di luar kebiasaan (dalam keadaan mandul).
Kelima, ketika Nabi Zakariya mendengar dari Maryam bahwa Allah memberi rizqi
kepada siapapun yang Dia kehendaki tanpa batasan maka ia pun tersadar bahwa
bisa saja terjadi istrinya melahirkan tanpa persiapan apapun.
Alasan-alasan ini menjadi penguat
dan pendorong bagi Nabi Zakariya untuk berdoa kepada Allah agar dianugerahi keturunan
yang shalih, diberkahi, dan bertaqwa kepada-Nya meskipun ia sudah tua renta dan
istrinya dalam keadaan mandul.
Allah menggambarkan doa Nabi
Zakariya ini dalam dua bentuk lain selain QS. Ali Imran ayat 38 ini. Cara kedua
seperti yang disebutkan dalam firman Allah:
قاَلَ رَبِّ إِنِّيْ
وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّيْ وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَّلَمْ أَكُنْ بِدُعَآئِكَ
رَبِّ شَقِيًّا
Ia berkata
"Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah
kecewa dalam berdo'a kepada Engkau, ya Tuhanku. (QS. Maryam: 4)
Bentuk doa Nabi Zakariya yang
ketiga adalah seperti digambarkan dalam firman-Nya:
وَزَكَرِيَّآ إِذْ نَادٰى رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ
خَيْرُ الوٰرِثِيْنَ
Dan Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya:
"Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik. (QS. Al-Anbiya: 89)
Dalam kitab Ruh al-Ma’ani
dijelaskan bahwa doa Nabi Zakariya yang berulang hingga tiga kali dengan bentuk
berbeda mengindikasikan bahwa ada jarak antara doa dan ijabah. Sebagian
pendapat menyebutkan bahwa jarak antara doa dan ijabah itu adalah empat puluh
tahun. Sedangkan menurut pendapat lain, ini merupakan doa yang sama yang
dihikayatkan dengan cara yang berbeda.
Terlepas dari perbedaan pendapat
tersebut, ketiga bentuk doa Nabi Zakariya mengandung pelajaran untuk tidak
berputus asa dari rahmat Allah dan meyakini kekuasaan-Nya untuk menentukan yang
terbaik bagi kita.
Ayat ini menjadi dalil bahwa
berdoa agar dianugerahi keturunan merupakan sunnah para rasul dan shiddiqin.
Hal ini seperti firman Allah:
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا
رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ اَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. (QS. Ar-Ra’d: 38)
Aisyah pernah berkata bahwa Nabi
Muhammad SAW pernah bersabda:
النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي
فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّي وَتَزَوَّجُوْا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ
بِكُمُ الْأُمَمَ، وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ
بِالصِّيَامِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Nikah itu adalah bagian dari
sunnahku, barangsiapa tidak mengerjakan sunnahku maka bukan dari golonganku,
menikahlah kalian, sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya kalian, barangsiapa
sudah mampu maka hendaknya ia menikah namun bila ia belum mampu maka hendaknya
ia berpuasa karena itu menjadi penghalang baginya. (HR. Ibnu Majah)
Ayat dan hadits ini menjadi
jawaban atas pendapat sebagian orang-orang bodoh dan menganggap dirinya seorang
sufi bahwa orang yang meminta anak itu adalah orang gila. Manusia memang
diciptakan memiliki hawa nafsu, termasuk keinginan untuk berkeluarga dan
memiliki keturunan. Orang yang tetap berkeluarga dan memiliki keturunan tanpa
melalaikan semua kewajibannya terhadap Allah, maka derajatnya lebih tinggi
daripada orang yang sengaja meninggalkan sunnah para Rasul (menikah) dengan
maksud mendekatkan diri pada Allah.
Memohon untuk dianugerahi anak
ini juga sering diterjemahkan permohonan untuk dikaruniai banyak anak yang
diberkahi. Seperti sabda Nabi SAW dari Anas bin Malik:
قَالَتْ اُمُّ سَلَيْم: يَا
رَسُوْلَ اللهِ، خَادِمُكَ أَنَسٌ، اُدْعُ اللهَ لَهُ، فَقَالَ: اللهم أَكْثِرْ مَالَهُ
وَوَلَدَهُ وَبَارِكْ لَهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَهُ
Ummu Sulaim berkata: wahai
Rasulullah Anas adalah pembantumu, berdoalah pada Allah untuknya, maka Rasulullah
bersabda: “Wahai Tuhanku, limpahkanlah harta dan anaknya dan berkahilah apa-apa
yang Engkau anugerahkan kepadanya.” (HR. Bukhari).
QS. Ali Imran ayat 38 dan
hadit-hadits tersebut di atas menunjukkan bahwa memohon untuk dianugerahi anak
yang shalih dan diberkahi merupakan anjuran dan sunnah para Rasul. Hal ini
disebabkan adanya harapan semua orang untuk mendapatkan manfaat dari
keturunannya pada saat hidup maupun setelah mati. Selain itu, doa untuk
mendapatkan keturunan yang shalih seharusnya dimulai sebelum kita mendapatkan
keturunan dan tidak berhenti setelah anak yang kita harapkan lahir. Karena
hidayah, keshalihan, perlindungan hanya milik Allah, sedangkan anak-anak
merupakan tanggung jawab orang tua yang
senantiasa mendidik dan mendoakannya.
DR. KH. Abun Bunyamin, MA (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Muhajirin)
-----------------------------------------
Jatiluhuronline.com menerima tulisan dari para pembaca dalam bentuk artikel / karya ilmiah, kirimkan tulisan anda melalui e-Mail : jatiluhuronline@gmail.com
-----------------------------------------
Jatiluhuronline.com menerima tulisan dari para pembaca dalam bentuk artikel / karya ilmiah, kirimkan tulisan anda melalui e-Mail : jatiluhuronline@gmail.com
0 Response to "Mengharapkan Keturunan Shalih Sebagai Sunnah Para Rasul"
Posting Komentar