Kasus SPPD Fiktif, Mantan Sekwan DPRD Purwakarta Dituntut 7 Tahun Penjara

Bandung, Jatiluhuronline.com - Jaksa penuntut umum (JPU) Ade Azhari, membacakan tuntutan dua terdakwa mantan Sekwan (M. Ripai) dan stafnya (Ujang Hasan Sumardi) pada kasus korupsi SPPD Fiktif DPRD Purwakarta.

Tuntutan tersebut dibacakan JPU pada saat sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Negeri Bandung. Senin, (25/3/2019)

Menyatakan terdakwa M. Ripai dan Ujang Hasan Sumardi, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-undang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH Pidana.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama tujuh tahun dan enam bulan, membayar denda Rp 200 juta subsidair satu tahun kurungan," ujar jaksa penuntut umum Ade Azhari.

Sedangkan terdakwa Ujang Hasan Sumardi, ‎jaksa penuntut umum meminta majelis hakim menjatuhkan pidana selama 7 tahun dan 8 bulan. 

Diketahui, sesuai dakwaan JPU, terdakwa M Ripai selaku pengguna anggaran, dan Hasan Ujang Sumardi selaku Panitia Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), secara melawan hukum memperkaya diri sendiri dan orang lain.

Yakni, sebanyak 45 orang anggota DPRD yang terdiri dari 4 pimpinan dan anggota DPRD yang merugikan uang negara sebesar 2,4 miliar rupiah, sebagaimana hasil pemeriksaan non PKPT Inspektorat Kabupaten Purwakarta Nomor 700/185/Insp/2018 tanggal 2 Maret 2018.

Pada tahun 2016, Sekretriat DPRD Kabupaten Purwakarta mengadakan sejumlah kegiatan, diantaranya kunjungan kerja dan bimbingan teknis. Namun dari 117 kegiatan perjalanan dinas dan dua kegiatan bimtek tersebut fiktif.

Salah satu kunjungan kerja fiktif yakni bimtek DPRD Purwakarta pada tanggal 29 Juli 2018 di Kota Bandung yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Purwakarta, Sarif Hidayat. 

Hal tersebut terungkap di persidangan, saat menghadirkan saksi-saksi dari 45 anggota DPRD Purwakarta yang mengatakan mereka tidak melaksanakan Bimtek.

Ketua DPRD purwakarta Sarif Hidayat mengakui atas penanda tanganan surat perintah, namun tidak bisa menjelaskan soal surat.

Dalam persidangan juga terungkap bahwa setiap ‎kunjungan kerja DPRD, terdapat bukti kwitansi hotel namun tidak pernah menginap.

Sementara itu, terdakwa M. Ripai merasa kecewa atas tuntutan tersebut, menurutnya ia merasa menjadi korban atas kebijakan sistem, dengan alasan ia sudah melakukan penanda tanganan sesuai prosedur.

"Saya sangat sedih, kecewa dan menderita. Siapa yang makan uangnya siapa yang harus menangung akibatnya,” ujar Ripai usai melakukan persidangan.

Ripai pun berharap ada keringanan hukuman bagi dirinya. Untuk sidang selanjutnya diagendakan pembelaan dari kedua terdakwa. (pojokjabar/jto/trb/MH)

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER