Kitabullah Sumber Hukum dari Yang Maha Adil
DR. KH. Abun Bunyamin, MA |
اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ اُوتُوا نَصِيْبًا مِّنَ الْكِتَابِ يُدْعَوْنَ اِلٰى كِتَابِ اللهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ يَتَوَلّٰى فَرِيْقٌ مِّنْهُمْ وَهُمْ مُّعْرِضُوْنَ
Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah diberi bahagian yaitu Al Kitab (Taurat), mereka diseru kepada kitab Allah supaya kitab itu menetapkan hukum diantara mereka; kemudian sebahagian dari mereka berpaling, dan mereka selalu membelakangi (kebenaran).
Setelah menggambarkan keburukan perilaku umat kafir terhadap dakwah
Islamiyah yang bahkan telah terjadi sejak zaman para nabi dan rasul
terdahulu dan sia-sianya amal baik yang mereka lakukan tanpa disertai
keimanan dan kesesuaian dengan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW, pada QS. Ali Imran ayat 23 ini Allah menjelaskan keadaan yang lebih
mengejutkan dari orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Ternyata bukan
syariat yang dibawa Nabi Muhammad saja yang enggan mereka terima dan
laksanakan, tetapi juga hukum-hukum syariat yang terkandung dalam
kitab-kitab yang diturunkan Allah pada nabi mereka.
Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya al-Durrul Mantsur fi al-Tafsir
bil ma’tsur menyebutkan bahwa Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim
dan Ibnul Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Pada suatu
hari Rasulullah SAW masuk ke rumah Midras yang di dalamnya terdapat
orang-orang Yahudi.
Lalu Nabi mengajak mereka kepada Allah. Lalu Nu’aim
bin Amr dan al-Harits bin Zaid berkata, ‘Engkau sendiri beragama apa
wahai Muhammad?” Nabi menjawab, ‘Agama Ibrahim.’ Mereka berkata,
“Sesunguhnya Ibrahim beragama Yahudi.’
Maka Rasulullah bersabda kepada
mereka, ‘Mari kita membaca taurat karena ia ada bersama kita saat ini.’
Namun mereka tidak mau melakukannya, oleh karena itulah Allah menurunkan
QS. Ali Imran ayat 23-24 ini.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’diy mengatakan bahwa para ahli kitab
ini merupakan kaum yang paling bahagia atas anugerah Allah berupa
kitab-kitab yang berisi syariat.
Maka sudah selayaknya mereka menjadi
kaum yang paling kuat dalam meyakini dan melaksanakan syariat-syariat
yang terkandung di dalamnya. Namun ternyata sebagian dari mereka
memalingkan badan dan menolak dengan hati mereka. Allah berfirman:
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ
إِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ
اٰيٰتِهِ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ
كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلَالٍ مُبِيْنٍ
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman
ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka
sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan
(jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan
sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar
dalam kesesatan yang nyata. (QS. Ali Imran: 164)
Kata nashiban minal kitab (bagian dari kitab), menurut Sayyid Quthb,
menunjukkan bahwa kitab-kitab terdahulu merupakan bagian-bagian yang
sesungguhnya sama-sama menetapkan keesaan uluhiyyah dan qawamah dan
al-Qur’an merupakan kitab terakhir yang menjadi penghimpun dan pelengkap
bagi kitab-kitab terdahulu.
Sedangkan dalam tafsir al-Maraghi, kata
tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar wahyu Allah dalam kitab
terdahulu telah hilang dari hapalan para ahli kitab, dan sebagian dari
wahyu Allah yang mereka hapal pun tidak mereka pahami dan amalkan dengan
baik.
Sekarang kitab-kitab yang dianggap sebagai Taurat dan dinasabkan kepada
Nabi Musa a.s. ternyata menurut sebagian peneliti Eropa ditulis 500
tahun setelah wafat beliau. Hal ini membuktikan bahwa kitab-kitab
tersebut bukanlah kitab taurat yang asli.
Semua kitab samawi mengandung perintah utama yang sama yaitu Islam
(tunduk, patuh, berserah diri) terhadap segala syariat yang ditetapkan
Allah dan diserukan para rasul-Nya. Hukum-hukum tersebut dibuat demi
kemaslahatan umat. Meskipun demikian, para ahli kitab dalam sejarah
seringkali mencari hukum lain yang lebih menguntungkan hawa nafsu
mereka. Allah berfirman:
وَكَيْفَ يُحَكِّمُوْنَكَ وَعِنْدَهُمُ
التَّوْرٰىةُ فِيْهَا حُكْمُ اللهِ ثُمَّ يَتَوَلَّوْنَ مِنْ بَعْدِ ذٰلِكَ
وَمَآ أُولٰئِكَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ
Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal
mereka mempunyai Taurat yang didalamnya (ada) hukum Allah, kemudian
mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka
sungguh-sungguh bukan orang yang beriman. (QS. Al-Maidah: 43)
Sejarah telah membuktikan kesombongan para ahli kitab, khususnya Yahudi,
untuk mengamalkan hukum yang terkandung dalam kitab Taurat.
Dalam
Tafsir al-Baghawiy, disebutkan bahwa al-Kalbi meriwayatkan dari Abu
Shalih dari Ibnu Abbas ada sepasang laki-laki dan perempuan penduduk
Khaibar berzina, sedangkan hukuman bagi orang yang berzina dalam kitab
mereka adalah rajam.
Mereka enggan merajam pelaku zina tersebut karena
kemuliaannya. Mereka pun mendatangi Rasulullah SAW berharap mendapatkan
keringanan hukuman, namun Rasul pun menetapkan hukuman rajam. Para
pelapor tetap menentang keputusan itu. Nabi SAW bersabda, ‘Antara aku
dan kalian ada kitab Taurat, siapa yang paling mengetahui Taurat di
antara kalian?’. Mereka merekomendasikan Ibnu Suriya agar datang ke
Madinah.
Setelah tiba di hadapan Rasul, Ibnu Suriya ditanya Rasul, ‘Apakah anda
Ibnu Suriya, orang Yahudi yang terpandai?’ Ia menjawab, ‘Ya, begitulah
mereka menganggap saya.’ Lalu Rasul memintanya membaca ayat pada Taurat
berkenaan dengan rajam.
Ketika sampai pada ayat tentang rajam, ia
menutupinya dengan telapak tangannya dan melewatkan bacaannya. Lalu
Abdullah bin Salam berkata, ‘Wahai Rasulullah, dia melewatkan
bacaannya.’ Lalu Rasul berdiri dan mengangkat tangannya sehingga Beliau
mendapati hukuman rajam bagi pezina tersebut. Maka Rasul pun
memerintahkan untuk merajam pezina tersebut. Kaum Yahudi pun marah dan
membubarkan diri.
Menurut Sayyid Quthb, penolakan untuk menggunakan kitab sebagai sumber
hukum dan pedoman dalam persoalan kehidupan merupakan sikap yang
kontradiktif dengan keimanan terhadap kitab Allah yang mana pun, dan
tidak sejalan dengan pengakuan mereka sebagai Ahli Kitab.
Ayat ini mengindikasikan peringatan bagi kita yang beriman kepada Allah
dan kitab-kitab-Nya, agar tidak mencontoh perilaku para Ahli Kitab itu
sehingga kita terhindar dari celaan dan siksa yang menimpa mereka.
Dalam kitab Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan
disebutkan bahwa bila kita diajak untuk mengamalkan kitab Allah kita
harus mendengarkan, taat, dan patuh sehingga termasuk orang-orang yang
beruntung dan tidak termasuk orang-orang yang kafir. Sebagaimana firman
Allah:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِيْنَ
إِذَا دُعُوْآ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ
يَقُوْلُوْا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُلٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. An-Nur: 51)
وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ أَنْزَلَ اللهُ فَأُولٰئِكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 44)
*) DR. KH. Abun Bunyamin, MA (Pimpinan Pondok Pesantren Al-Muhajirin)