Hukum Baca Shalawat Bilal dan Jawaban Jamaah Shalat Tarawih

Jatiluhuronline.com – Sudah menjadi suatu kelaziman bagi umat muslim di nusantara dalam shalat tarawih melantunkan shalawat atau radhiyallahu’anhu usai salam. Shalawat dilantunkan untuk mendoakan Nabi Muhammad SAW, sementara taradhdhi diucapkan untuk mendoakan empat khalifah (Abu Bakar, umar, utsman dan Ali) yang biasanya diucapkan melalui komando seorang bilal. Selain bermaksud doa, terkandung fungsi lain dari lantunan-lantunan tersebut, antara lain :

Pertama, sebagai waktu jeda antara satu shalat dan shalat berikutnya. Tarawih dua puluh rakaat merupakan aktivitas yang cukup menguras tenaga bagi mereka yang tak terbiasa. Karena itu, shalawat dan taradhdhi (lantunan radhiyallahu ‘anhu) menjadi momentum istirahat sejenak selepas salam, sebelum melanjutkan rakaat-rakaat berikutnya.

Hal itu juga selaras dengan tarawih yang berarti beberapa istirahat, karena jumlah rakaat yang cukup banyak. Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan:

   وسميت تراويح؛ لأنهم لطول قيامهم كانوا يستريحون بعد كل تسليمتين  

“Dan disebut tarawih, karena mereka beristirahat setiap dua kali salam, sebab lamanya berdiri. Mereka beristirahat setelah tiap dua salam (empat rakaat),” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 2, hal. 241).

Kedua, penanda hitungan rakaat yang telah dicapai jamaah shalat tarawih. Melalui shalawat dan taradhdhi imam dan makmum akan lebih mudah mengingat jumlah rakaat yang sudah ditunaikan, menghindarkan dari kesibukan menghitung, sehingga menambah kekhusyukan beribadah.

Sejumlah ulama menyatakan bahwa praktik tersebut adalah tradisi yang bagus. Di dalamnya tak mengandung unsur hal-hal yang bertentangan dengan syariat, seperti mengubah tata laksana shalat sebagaimana mestinya.

Adapun hukum membaca shalawat di setiap dua rakaat tarawih, dijelaskan oleh Zainuddin bin Muhammad Al-Aydarus dalam Kitab Ittihaful Anam bi Ahkamis Shiyam menjelaskan:

 وَأَمَّا الصّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ رَكَعَاتِ التَّرَاوِيْحِ الْمُعْتَادَّةُ فِي بَعْض الْبُلْدَانِ فَهِيَ مِنْ جُمْلَةِ الْأَذْكَارِ الْمُتَقَدِّمَةِ وَهِيَ حَسَنَةٌ وَمَطْلُوْبَةٌ وَمَرْغُوْبٌ فِيهَا عَلَى الدَّوَامِ، فَغَالِبًا مَا يُصَلِّي عَلَى النَّبِي ثُمَّ يُعَقِّبُها دُعَاءٌ، وَيَخْتَمُ بِهَا أَيْضًا مَعَ الثَّنَاءِ عَلَى اللهِ تَعَالَى، وَهَذَا ثَابِتٌ مُجْتَمَعٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ مِنْ أَسْبَابِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ

Artinya, “Adapun shalawat kepada Nabi SAW di antara beberapa rakaat tarawih yang sudah biasa dilakukan di beberapa negara, yaitu kalimat zikir permulaan, adalah baik, dianjurkan dan disunahkan secara kontinu, pada biasanya membaca shalawat kemudian diikuti dengan doa, dan ditutup pula dengan shalawat serta pujian kepada Allah SWT, dan tradisi ini tetap dan telah disepakati, dan ia adalah sebab-sebab diistijabahnya doa,” (Lihat Zainuddin Al-‘Aydarus Al-Ba’alawy, Ittihaful Anam bi Ahkamis Shiyam, [Maktabah Al-Mujallad Al-‘Arabi], halaman 197). 

Kemudian, diterangkan dalam kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubrâ, tanya jawab mengenai hukum membaca shalawat di setiap sesudah salam shalat tarawih.

 ـ (وَسُئِلَ) فَسَّحَ اللَّهُ فِي مُدَّتِهِ هَلْ تُسَنُّ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بَيْنَ تَسْلِيمَاتِ التَّرَاوِيحِ أَوْ هِيَ بِدْعَةٌ يُنْهَى عَنْهَا؟

Artinya, “Imam Ibnu Hajar Al-Haitami–semoga Allah melapangkannya–apakah shalawat kepada Nabi SAW di antara salam shalat tarawih disunahkan atau bidah yang dilarang?”

 ـ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ الصَّلَاةُ فِي هَذَا الْمَحَلِّ بِخُصُوصِهِ. لَمْ نَرَ شَيْئًا فِي السُّنَّةِ وَلَا فِي كَلَامِ أَصْحَابِنَا فَهِيَ بِدْعَةٌ يُنْهَى عَنْهَا مَنْ يَأْتِي بِهَا بِقَصْدِ كَوْنِهَا سُنَّةً فِي هَذَا الْمَحَلِّ بِخُصُوصِهِ دُونَ مَنْ يَأْتِي بِهَا لَا بِهَذَا الْقَصْدِ كَأَنْ يَقْصدَ أَنَّهَا فِي كُلِّ وَقْتٍ سُنَّةٌ مِنْ حَيْثُ الْعُمُومُ بَلْ جَاءَ فِي أَحَادِيثَ مَا يُؤَيِّدُ الْخُصُوصَ إلَّا أَنَّهُ غَيْرُ كَافٍ فِي الدَّلَالَةِ لِذَلِكَ

Artinya, “Imam Ibnu Hajar menjawab, shalawat dalam keadaan ini dengan kekhususannya tidak ada dalilnya dalam sunah, juga tidak pada perkataan sahabat kami (ulama), maka itu adalah bidah yang dilarang bagi orang  yang melaksanakannya dan menganggap hal itu adalah sunah, dan tidak termasuk bidah yang terlarang, orang yang melaksanakannya bukan karena tujuan ini, seperti menganggap bahwa shalawat itu disunahkan di setiap waktu dari segi keumumannya, akan tetapi ada beberapa hadits yang menguatkan kekhususan shalawat, dengan catatan tidak cukup menjadikannya dalil,” (Lihat Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyatul Kubra, Al-Maktabah Al-Islamiyyah], juz I, halaman 186). 

Kemudian Imam Ibnu Hajar menerangkan:

 وَمِمَّا يَشْهَدُ لِلصَّلَاةِ عَلَيْهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بَيْنَ تَسْلِيمَاتِ التَّرَاوِيحِ أَنَّهُ يُسَنُّ الدُّعَاءُ عَقِبَ السَّلَامِ مِنْ الصَّلَاةِ وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ الدَّاعِيَ يُسَنُّ لَهُ الصَّلَاةُ أَوَّلَ الدُّعَاءِ وَأَوْسَطَهُ وَآخِرَهُ وَهَذَا مِمَّا أَجْمَعَ عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ

Artinya, “Salah satu dalil yang mendukung membaca shalawat di antara rakaat-rakaat shalat tarawih, yaitu disunahkan membaca doa setelah salam, dan sudah ditetapkan bahwa orang yang berdoa disunahkan membaca shalawat, di awal, di tengah, dan di akhir doa,” (Lihat Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyatul Kubra, [Al-Maktabah Al-Islamiyyah], juz I, halaman 186). 

Dari keterangan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa membaca shalawat di antara dua rakaat tarawih adalah sunah sesuai dengan kadar niatnya. Kemudian bagaimana hukum membaca radhiyallahu anhu atau taradhdhi untuk Khulafaurrasyidin saat tarawih? Zainuddin bin Muhammad Al-Aydarus dalam Kitab Ittihaful Anam bi Ahkamis Shiyam mengutip dari kitab Fatawa Ramadhan karya Sayyid ‘Abdullah bin Mahfudz Al-Haddad sebagai berikut:

 وَهُوَ فِعْلٌ حَسَنٌ وَلَيْسَ بِدْعَةً ضَلَالَةً وَلَا أَنَّهُ سُنَّةٌ، فَمَنْ فَعَلَهُ فَقَدْ أَحْسَنَ، وَمَنْ تَرَكَهُ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ، وَالتَّرَضِّي عَنِ الصَّحَابَةِ دُعَاءٌ يُثَابُ عَلَيْهِ

Artinya, “Membaca taradhdhi adalah perbuatan yang bagus, bukan bid'ah yang sesat, dan bukan pula sunnah. Siapa yang mengerjakannya, maka ia telah berbuat baik, siapa yang meninggalkannya maka tak ada dosa baginya, dan membaca radhiyaLlahu ‘anhu untuk sahabat Nabi adalah doa yang diberikan pahala,” (Lihat Zainuddin Al-‘Aydarus Al-Ba’alawy, Ittihaful Anam bi Ahkamis Shiyam, [Maktabah Al-Mujallad Al-‘Arabi], halaman 201).

Kesimpulannya, membaca shalawat dan membaca radhiyallahu ‘anhu setiap sehabis salam saat tarawih adalah sunah mengingat hadits nabi yang menganjurkan untuk memisah shalat sunah dengan berpindah atau berbicara. Hakikatnya, membaca shalawat dan radhiyallahu ‘anhu adalah doa.

Berikut ini adalah susunan shalawat dan taradhdhi yang umum kita temukan praktiknya di masjid-masjid atau mushala-mushala di Tanah Air. Pola susunan bisa berbeda-beda di masyarakat, dan tak menjadi soal selama tidak ada kandungan yang bertentangan dengan syariat.  

Sumber Artikel: islam.nu.or.id

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

0 Response to "Hukum Baca Shalawat Bilal dan Jawaban Jamaah Shalat Tarawih"

Posting Komentar