Pandangan Islam : Pekerjaan dan Jabatan dengan Menzalimi Orang Lain

Gambar : Ilustrasi
Pandangan Islam : Pekerjaan dan Jabatan dengan Menzalimi Orang Lain
Oleh : Mulyono, S.Pd.I (Aktivis Literasi Media Sosial, Dirda LPPDSDM BKPRMI Kab. Purwakarta, Staf Pengajar, Pengurus MUI Desa Babakan, Wanayasa)

Religi, Jatiluhuronline.com - Bekerja dalam pandangan Islam sesuatu yang diperintahkan, dengan bekerja seseorang bisa menafkahi dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya.

Namun, bagaimana dengan orang yang mengambil jalan pintas melakukan berbagai cara agar cepat kaya, memperoleh jabatan atau pangkat bahkan ingin dihargai orang lain. Seperti dengan melakukan korupsi, menyebar hoaks, memfitnah rekan kerja dan lainnya sebagainya. Lantas bagaimana pandangan Islam tentang cara mencari rezeki dengan menzalimi atau menjatuhkan orang lain?

Islam memberikan tuntunan dalam mencari rezeki harus dengan cara yang baik. Artinya, seorang muslim dilarang keras memproleh rezeki dengan cara-cara yang batil dan menzalimi pihak lain. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 188.

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”

Pada ayat tersebut dijelaskan secara tegas larangan muslim memperoleh rezeki dengan cara batil atau dengan menzalimi pihak lainnya seperti menjatuhkan nama baik orang lain dengan menyebar hoaks telah melakukan dosa dan akan mendapat siksaan di neraka. Hal itu juga dapat menjerumuskan orang pada kegaduhan sosial, termasuk fasadul fil Ardhi, tindakan merusak tatanan dunia.

Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya menjelaskan, maksud ayat ini ialah bahwa Allah melarang umat Islam untuk mengambil harta sebagian yang lain dengan cara yang haram menurut syariat. Di antaranya dengan ​​​​​​membawanya ke hakim untuk mengambilnya dengan sumpah dusta dan dalam keadaan sadar bahwa ia berbuat kebatilan. (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsirul Munir li Ma’alimt Tanzil, [Beirut, Darul Fikr], juz II, halaman 44).

Sementara Imam As-Suyuthi dalam tafsirnya menyebutkan riwayat hadits yang bersumber dari Imam Malik, As-Syafii, Ibnu Abi Syaibah, Al-Bukhari dan Muslim, dari Ummi Salamah, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:

إنما أنا بشر وإنكم تختصمون إلي, ولعل بعضكم أن يكون ألحن بحجته من بعض, فأقضي له على نحوى ما أسمع منه, فمن قضيت له بشيء من حق أخيه فلا يأخذنه, فإنما أقطع له قطعة من النار

Artinya: “Aku hanyalah manusia, jika kalian berseteru di depanku dan sebagian dari kalian melakukan kesalahan (berbuat zalim) dengan hujahnya atas yang lain, kemudian aku memutuskan sesuai apa yang aku dengar darinya, maka orang yang aku beri putusan dengan membawa suatu hak dari saudaranya, janganlah ia mengambilnya. Sungguh aku (jika demikian) mengambilkannya potongan api neraka. (As-Suyuthi, Ad-Durrul Mantsur, [Beirut, Darul Fikr], juz I, halaman 489).

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya memberi komentar atas ayat 188 Al-Baqarah dan hadits yang senada dengan hadits di atas:

فدلت هذه الأية الكريمة وهذا الحديث على أن حكم الحاكم لا يغير الشيء فى نفس الأمر, فلا يحل فى نفس الأمر حراما هو حرام, ولا يحرم حلالا هو حلال, وإنما هو يلزم فى الظاهر, فإن طابق فى نفس الأمر فذاك, وإلا فللحاكم أجره وعلى المحتال وزره

Artinya: “Ayat yang mulia dan hadits ini menunjukkan bahwa putusan hakim sebenarnya tidak mengubah substansi hukum sesuatu. Ia tidak mengubah halal sesuatu yang pada dasarnya haram, dan pula tidak mengubah haram sesuatu yang pada dasarnya halal. Putusan tersebut hanya menetap pada yang tampak (menghukumi yang tampak). Jika sesuai dengan substansinya, maka demikianlah; dan jika tidak sesuai, maka bagi hakim satu pahala dan bagi orang yang membuat rekayasa dosa yang ia dapatkan”. (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’anil Azhim, [Riyadh, Dar Thayyibah lin Nasyri wat Tauzi’], juz I, halaman 521).

Pada prinsipnya, semua pekerjaan itu diperbolehkan kecuali yang dilarang oleh syariat Islam. Namun bila menilik sejumlah riwayat, berdagang menjadi pekerjaan yang utama dilakukan. Kendati demikian, yang terpenting dalam setiap pekerjaan adalah senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, profesionalisme, dan tidak mengambil hak orang lain dengan cara batil atau berbuat zalim.

Dalam hal ini penulis menyimpulkan, ayat di atas juga bisa berlaku untuk orang-orang yang berbuat zalim kepada orang lain tidak hanya dalam urusan harta saja. Melainkan juga orang-orang yang berbuat zalim dengan membuat kesaksian atau laporan palsu untuk membela diri atau menjatuhkan orang lain. Wallahu a’lam. (Red)

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

0 Response to "Pandangan Islam : Pekerjaan dan Jabatan dengan Menzalimi Orang Lain"

Posting Komentar