Menyikapi "Ikhtilaf" dalam Kacamata Islam
Menyikapi "Ikhtilaf" dalam Kacamata Islam Oleh : Mulyono, S.Pd.I * |
Jatiluhuronline.com - Ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam pandangan Islam khususnya yang berkaitan dengan persoalan furu’iyah khilafiyah sejatinya sudah ada sejak zaman para sahabat Rasuullah SAW bahkan ketika beliau masih hidup di tengah-tengah para sahabat. Namun, hal terpenting yang harus kita pahami serta diteladani adalah bagaimana sikap para sahabat dalam menyikapi perbedaan yang ada, oleh karena itu tidak pernah ditemukan dalam kurun waktu sejarah yang panjang peradaban Islam saat itu terjadinya pertumpahan darah dan peperangan yang disebabkan oleh perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyah khilafiyah ini.
Menyikapi Perbedaan Pendapat
Sikap yang harus dijaga dalam menghadapi ikhtilaf dan menjauhi perselisihan ini yakni dengan mengikuti manhaj pertengahan yang mencerminkan sikap tawazun atau istilah lainnya keseimbangan dalam segala aspek kehidupan tidak condong pada salah satu perkara, serta jauh dari sikap berlebihan. Sikap ini merupakan faktor terpenting bagi setiap muslim demi tercapainya persatuan dan keakraban. Sikap yang berlebihan akan mengakibatkan kehancuran, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam yang di riwayatkan Imam Muslim “Binasalah orang-orang yang berlebihan“ tiga kali rasulullah menyebutkan hal ini sebagai berita akan kehancuran mereka.
Menjauhi Fanatisme Individu, Madzhab dan Golongan (Komunitas)
Seorang muslim akan mampu bersikap ikhlas sepenuhnya kepada Allah dan senantiasa berpijak kepada kebenaran jika ia dapat membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapat individu, madzhab, ataupun golongan. Ia tidak mengikat dirinya kecuali dengan dalil-dalil yang menguatkannya, ia akan segera mengikutinya sekalipun bertentangan dengan madzhab yang dianutnya atau perkataan imam yang dikaguminya atau golongan yang ia berafiliasi kepadanya.
Seorang muslim yang konsisten dalam mengikuti madzhab tertentu, maka sikap fanatisme ini tidak akan pernah terjadi, karena ia benar-benar telah mengamalkan pesan-pesan serta ajaran Imam-imam madzhab mereka. Imam Abu Hanifah contohnya, beliau pernah berpesan;
إذا قلت قولا يخالف كتاب الله تعالى وخبر الرسول صلى الله عليه وسلم فاتركوا قولي
“Apabila aku mengatakan sesuatu perkataan (pendapat) yang menyelisihi Al-Quran dan Sunnah Rasulullah maka tinggalkanlah perkataanku tersebut”.
Imam Malik bin Anas pun pernah mengatakan hal yang sama yang dikutip oleh Ibnu Abdil Barr;
إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه
“Aku ini hanyalah manusia yang terkadang salah terkadang benar. Maka perhatikanlah pendapatku, setiap pendapat yang sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, maka ambillah. Dan yang tidak sesuai maka tinggalkanlah”.
Begitu pula Al Imam As Syafi’i pernah mengatakan hal yang serupa;
إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت
“Jika kalian menemukan dalam kitabku ada pendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah sesuai sunnah tersebut, dan tinggalkanlah perkataanku".
Imam Ahmad bin Hanbal juga mengatakan;
لا وتقلدني، ولا تقلد مالكاً ولا الشافعي ولا الأوزاعي، ولا الثوري، وخذ من حيث أخذوا
“Jangan engkau taqlid kepadaku, dan jangan pula kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, dan Ats-Tsauri. Tetapi ambillah darimana mereka mengambil”.
Pernyataan imam-imam madzhab di atas dapat diambil kesimpulan bahwa para pendiri madzhab fiqih pun tidak mengajarkan ataupun menganjurkan sikap fanatisme madzhab kepada para pengikutnya. Sehingga barangsiapa yang mengaku menganut dan berafiliasai kepada salah satu madzhab dari madzhab-madzhab imam empat yang ada, lantas kemudian ia bersikap fanatik terhadap madzhab yang ia anut, maka sejatinya ia tidak mampu untuk bersikap konsisten terhadap madzhabnya.
Husnudzon (Berprasangka Baik)
Diantara sikap dasar yang sangat penting dalam masalah ikhtilaf ini yakni senantiasa berprasangka baik terhadap orang lain serta menghapus sikap su'udzon ketika melihat keburukan mereka, tetap berusaha untuk tidak menyakiti perasaan ataupun mencela orang yang berbeda pendapat khususnya dalam persoalan khilafiyah.
Kekeliruan seseorang dalam masalah ijtihadiyah tidak boleh dicela dan harus dimaafkan, bahkan mungkin saja ia memperoleh pahala dari Allah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wa salam. Demikianlah manhaj para salaf dalam berbeda pendapat yang menyangkut masalah ijtihadiyah. Mereka tidak saling mencela atau menyakiti, tetapi saling memuji sekalipun tetap berbeda pendapat.
Menjauhi Permusuhan
Sikap lain yang harus dipahami oleh seorang muslim adalah menjahui perdebatan, bantah-bantahan yang tercela dan permusuhan sengit. Karena Islam, sekalipun memerintahkan perbedaan, namun dengan cara yang baik. Islam mengecam perbantahan yang bertujuan mengalahkan lawan dengan segala cara, tanpa berpegang teguh kepada logika yang sehat dan timbangan yang bijkasana antara kedua belah pihak.
Kesimpulan
Perbedaan pendapat yang terjadi di tengah-tengan kaum muslimin saat ini khususnya yang menyangkut maslah khilafiyah. Furu’iyah, ijtuhadiyah dalam Islam akan menjadi suatu hal yang indah, keberagaman yang harmonis, semangat toleransi yang tinggi, jika bisa disikapi dengan baik, arif dan bijaksana serta mengedepankan nilai-nilai ukhuwah Islamiyah, sehingga Islam benar-benar akan tampil di muka bumi ini sebagai agama yang membawa rahmat lil 'alamin. (*)
Sumber Arikel :
1. Diriwaytkan oleh Imam Muslim dalam Shaihnya, 26702. Ibnu Abdil-Barr dalam Al-Jami’ 2/32
3. Imam An Nawawi dalam Al Majmu’ 1/63
4. Ibnul-Qayyim dalam I’lamul-Muwaqqi’in 2/302
0 Response to "Menyikapi "Ikhtilaf" dalam Kacamata Islam"
Posting Komentar