Viral, Puisi BJ. Habibie 'Kalaulah Sempat', Hoax Bukan?

Purwakarta, Jatiluhuronline.com - Pasca wafatnya Presiden RI Ke-3, BJ Habibie pada Rabu (11/9/2019) sore di RSPAD Gatot Subroto Jakarta, tersebar sebuah tulisan berantai "Kalaulah Sempat" yang mencatut nama BJ. Habibie sebagai penulisnya dan viral di media sosial.

Dalam tulisan "Kalaulah Sempat" tersebut, awal-awal mengutip isi pidato BJ Habibie di Kairo, Mesir. Dalam pidato tersebut, cendekiawan ternama asal Indonesia ini mengatakan, bersyukur telah diberikan anugerah dalam bentuk ilmu teknologi.

"Saya diberikan kenikmatan oleh Allah ilmu teknologi, sehingga bisa membuat pesawat terbang. Tapi sekarang saya tahu bahwa ilmu agama itu lebih bermanfaat untuk umat. Kalo saya disuruh memilih antara keduanya, saya akan memilih ilmu agama," kata Habibie dalam pesan tersebut.

Setelah itu, sang penulis membuat sebuah renungan yang seolah-olah menggambarkan kondisi BJ Habibie saat ini. Mulai dari ditinggal sang istri, almarhumah Ainun, sampai melihat anak-anaknya sukses.

Dalam penutup puisi tersebut tercantum nama penulisnya, yakni Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie. Sejauh ini pesan berantai tersebut viral via Whatsapp dan belum diketahui sumber aslinya. Benarkah renungan BJ Habibie yang dia tulis atau karang-karangan oknum atau hoaks.

Berikut puisi "Kalaulah Sempat" tersebut.

Sepi penghuni, istri sudah meninggal, tangan menggigil karena lemah, penyakit menggerogoti sejak lama, duduk tak enak, tidur tak nyenyak, berjalan pun tak nyaman.

Untung lah seorang kerabat jauh mau tinggal bersama menemani beserta seorang pembantu. Tiga anak, semuanya sukses, berpendidikan tinggi sampai ke luar negeri.

Ada yang sekarang berkarier di luar negeri, ada yang bekerja di perusahaan asing dengan posisi tinggi. Dan ada pula yang jadi pengusaha. Soal Ekonomi, saya angkat dua jempol semuanya kaya raya.

Namun, saat tua seperti ini, dia merasa hampa, ada pilu mendesak di sudut hatinya. Tidur tak nyaman. Dia berjalan memandangi foto-foto masa lalunya ketika masih perkasa dan energik yang penuh kenangan.

Di rumah yang besar dia merasa kesepian, tiada suara anak, cucu, hanya detak jam dinding yang berbunyi teratur. Punggungnya terasa sakit, sesekali air liurnya keluar dari mulutnya. Dari sudut matanya ada air yang menetes, rindu dikunjungi anak-anaknya

Tapi semua anaknya sibuk dan tinggal jauh di kota atau negara lain. Ingin pergi ke tempat ibadah namun badan tak mampu berjalan. Sudah terlanjur melemah.

Begitu lama waktu ini bergerak, tatapannya hampa, jiwanya kosong, hanya gelisah yang menyeruak sepanjang waktu. Laki-laki renta itu, barang kali adalah Saya, atau barang kali adalah Anda yang membaca tulisan ini suatu saat nanti.

Hanya menunggu sesuatu yang tak pasti, yang pasti hanyalah kematian. Rumah besar tak mampu lagi menyenangkan hatinya. Anak sukses tak mampu lagi menyejukkan rumah mewahnya yang ber-AC.

Cucu-cucu yang hanya seperti orang asing bila datang. Aset-aset produktif yang terus menghasilkan, entah untuk siapa? Kira-kira jika malaikat datang menjemput akan seperti apakah kematiannya nanti.

Siapa yang akan memandikan? Di mana akan dikuburkan ? Sempatkah anak kesayangan yang menjadi kebanggaannya datang mengurus jenazah dan menguburkan? Apa amal yang akan dibawa ke akhirat nanti? Rumah akan ditinggal, aset juga akan ditinggal pula.

Anak-anak entah apakah akan ingat berdoa untuk kita atau tidak? Sedang ibadah mereka sendiri saja belum tentu dikerjakan? Apalagi jika anak tak sempat dididik sesuai tuntunan agama. Ilmu agama hanya sebagai sisipan saja.

Kalaulah sempat menyumbang yang cukup berarti di tempat ibadah, Rumah Yatim, Panti Asuhan atau ke tempat-tempat di jalan Allah yang lainnya. Kalaulah sempat dahulu membeli sayur dan melebihkan uang pada nenek tua yang selalu datang.

Kalaulah sempat memberikan sandal untuk disumbangkan ke tempat ibadah agar dipakai oleh orang yang memerlukan. Kalaulah sempat membelikan buah buat tetangga, kenalan, kerabat, dan handai taulan.

Kalaulah kita tidak kikir kepada sesama, mungkin itu semua akan menjadi amal penolongnya. Kalaulah dahulu anak disiapkan menjadi orang yang saleh, dan ilmu agamanya lebih diutamakan. Ibadah sedekahnya dibimbing/diajarkan dan diperhatikan, mungkin senantiasa akan terbangun malam, meneteskan air mata mendoakan orang tuanya.

Kalaulah sempat membagi ilmu dengan ikhlas pada orang sehingga bermanfaat bagi sesama…

"KALAULAH SEMPAT"

Mengapa kalau sempat? Mengapa itu semua tidak jadi perhatian utama kita? Sungguh kita tidak adil pada diri sendiri. Kenapa kita tidak lebih serius? Menyiapkan bekal untuk menghadap-Nya dan mempertanggungjawabkan kepada-Nya?

Jangan terbuai dengan kehidupan dunia yang bisa melalaikan. Kita boleh saja giat berusaha di dunia, tapi jadikan itu untuk bekal kita pada perjalanan panjang dan kekal di akhir hidup kita.

Terus lah menjadi si penabur kebajikan, selama hayat masih dikandung badan meski hanya sepotong pesan.

Semoga Bermanfaat
Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER